Suatu pagi aku sedang asyik bermain di ruang keluarga bersama adikku,
Riska yang masih berusia 3 tahun saat itu aku hanya berdua berada di
rumah. Seperti biasa ayah dan ibuku sudah berangkat kerja sejak pukul
06.00 pagi.
Saat itu aku merasa gundah dan sepi, walaupun
sebenarnya aku sedang asyik bermain bersama adikku tapi di dalam hatiku
tersirat sebuah kejenuhan menghadapi hidup ini. Aku merasa jenuh dengan
hidupku yang tanpa kasih sayang, kedua orang tuaku begitu sibuk dengan
pekerjaan mereka. Mereka tidak pernah ingin tahu tentang aku dan adikku.
Tapi aku tetap yakin dan percaya bahwa sebenarnya mereka begitu
menyayangiku dan adikku. Dan aku menyadari bahwa aku sudah dewasa dan
orang tuaku bekerja semta-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga
kami. Tapi ada satu hal yang menjadi tanda tanya di dalam diriku yaitu
terkadang waktu pulang kerja ayah dan ibuku sering bertengkar, aku tidak
tahu apa penyebab yang membuat mereka bertengkar tapi aku tidak ingin
mencampuri urusan mereka.
Hingga suatu hari, adikku terserang
penyakit yang cukup serius. Kata dokter adikku menderita sesak nafas.
Aku begitu sedih melihat keadaan adikku. Dia cukup menderita dengan
penyakitnya dan dia juga harus kehilangan kasih sayang dari kedua orang
tuaku. Namun yang lebih menyesalkanku adalah kedua orang tuaku yang
tetap sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Padahal, mereka tahu
jika adikku sedang terbaring lemah di rumah sakit tapi mereka tetap
tidak meluangkan waktunya sehari saja untuk menemani adikku dari pagi
hingga malam. Mereka hanya mementingkan urusan mereka saja. Saat itu pun
aku kesal kepada ayah dan ibuku.
Seminggu berlalu, namun adikku
tidak kunjung sembuh. Setiap saat aku selalu berdoa untuk kesembuhan
adikku dan menemaninya di rumah sakit karena aku yakin bahwa dia sangat
membutuhkan aku dalam keadaan seperti ini.
Sore harinya, ayah dan
ibuku datang ke rumah sakit saat itu pun aku berfikir bahwa mereka akan
menginap disini untuk menemani adikku. Namun kenyataan berkata lain.
“Ayah…Ibu…tumben datang kesini. Apakah pekerjaan Ayah dan Ibu telah selesai ?” tanyaku.
“Tidak Anakku,” jawab Ayahku.
“Jadi apa maksud Ayah ?’’ tanyaku dengan wajah yang bingung.
“Begini anakku Ayah dan Ibu ingin menyampaikan sesuatu,” sambung Ibuku.
“Aku semakin tidak mengerti. Sebenarnya apa maksud dan tujuan Ayah dan Ibu kesini ?”
“Mungkin ini hal yang begitu berat bagi kami. Tapi kami harus memberitahukan hal ini kepadamu Anakku,” jelas Ayahku.
“Katakanlah Ayah.”
“Begini Anakku, ini keputusan yang sangat berat bagi kami. Dan kami sudah tahu pasti kamu tidak akan bisa menerima ini semua.”
“Apa Ayah ?”
“Sebenarnya kami memutuskan untuk berpisah dan hak asuh akan kami cari jalan yang terbaik.”
“Apa
maksud Ayah dan Ibu ? Apa Ayah dan Ibu tidak melihat kondisi Riska yang
sedang terbaring lemah ? Sedangkan Ayah dan Ibu ingin berpisah. Sungguh
aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Ayah dan Ibu.”
“Bukan itu maksud Ayah dan Ibu,” ujar Ayahku.
“Iya. Maksud Ayah dan Ibu ingin melukai kami dan menghancurkan kebahagiaan kami.”
“Anakku…Ayah harap kamu bisa mengerti.”
“Aku
sungguh tidak mengerti dengan sikap Ayah dan Ibu seperti ini. Apa Ayah
dan Ibu tidak puas selama belasan tahun melihat kami kekurangan kasih
sayang, padahal kami memiliki orang tua ? Apa tidak sedikit pun Ayah dan
Ibu memikirkan itu ? Ayah dan Ibu hanya memikirkan kepentingan sendiri.
Aku kecewa dengan Ayah dan Ibu,” tuturku.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Ini sudah jalan yang kami pilih dan kami harus menanggung resikonya Anakku,” jelas Ayahku.
“Iya.
Tapi Ayah dan Ibu tidak memikirkan nasibku dan Riska kedepan. Ayah dan
Ibu hanya memikirkan kesenangan Ayah dan Ibu saja tanpa memikirkan kami.
Apa dengan bercerai Ayah dan Ibu merasa masalah Ayah dan Ibu sudah
terselesaikan ?’’
“Mungkin tidak Anakku, tapi ini jalan yang kami pilih,” sahut Ibuku.
“Aku sudah tidak mengerti dengan jalan pikiran Ayah dan Ibu yang hanya mementingkan kesenangan Ayah dan Ibu.”
“Tapi…Anakku…”sambung Ibuku.
“Sudahlah
Ibu, cukup Ayah dan Ibu mengecewakanku dan sekarang terserah Ayah dan
Ibu mau apa aku sudah tidak mau ikut campur. Entah apa pun itu alasan
Ayah dan Ibu ingin bercerai.”
Aku pun langsung pergi ke kamar mandi
meninggalkan Ayah dan Ibuku. Sungguh aku tidak mengerti dengan jalan
pikiran mereka. Tapi aku mencoba tetap sabar dengan cobaan ini. Aku
masih memikirkan adikku yang sedang terbaring lemah. Aku tidak boleh
putus asa ataupun bersedih dengan keadaan ini karena aku harus kuat agar
aku bisa memberi semangat kepada adikku dan menjadi teladan. Aku tidak
boleh terpuruk dengan perceraian Ayah dan Ibuku karena masih ada hal
yang harus aku pikirkan kedepan dan aku harus menjadi penyemangat buat
adikku. Itulah yang selalu terbesit dalam hati dan benakku.
Beberapa
hari kemudian, penyakit adikku semakin parah dan dokter pun mengatakan
bahwa adikku tidak dapat bertahan lama. Aku pun segera memberitahukan
hal ini kepada Ayah dan Ibuku untuk datang ke rumah sakit. Beberapa
menit setelah Ayah dan Ibuku tiba di rumah sakit, adikku menghembuskan
nafas terakhirnya. Air mata pun mengalir di pipiku begitu deras. Ayah
dan Ibuku langsung memeluk adikku untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak
tahu harus berkata apa lagi. Semua telah terjadi dan aku harus
menerimanya.
Beberapa bulan setelah adikku meninggal, ayah dan
ibuku pun resmi berpisah. Air mataku kembali mengalir untuk yang
kesekian kalinya. Saat itu aku merasa hidupku sudah tidak ada artinya
lagi. Adikku pergi meninggalkanku untuk selamanya sedangkan kedua orang
tuaku telah resmi bercerai. Saat itu aku merasa kehilangan jati diriku
yang kuat, sabar, dan mampu menghadapi masalah. Namun dalam
keterpurukanku, terlintas dalam benakkubahwa aku harus bangkit dan
bersemangat untuk menjalani hidup ini. Ini bukanlah akhir dari
segalanya, aku harus mencapai impianku dan cita-citaku. Aku tidak boleh
hanya menyesali semua yang terjadi. Aku harus menjalani hidupku saat ini
dan kedepannya. Aku tidak boleh menoleh ke belakang dan jatuh di lubang
yang sama. Aku adalah aku yang harus memperbaiki hidupku sendiri.
Saat
itu pun hakim telah menyatakan hak asuh atas diriku diberikan kepada
Ibuku. Akhirnya aku tinggal bersama Ibuku dan aku menjalani hidupku
seperti yang lainnya secara normal.
0 komentar:
Posting Komentar